Senin, 31 Januari 2011

Perjanjian Norwegia-Indonesia model Pembangunan Rendah Karbon

JAKARTA - Perjanjian bersejarah senilai 1 miliar dolar AS antara Indonesia dan Norwegia, yang dimaksudkan untuk menghentikan perusakan hutan dan mengurangi emisi karbon, dalam ancaman bahaya dari pihak-pihak industri perusak hutan. 

Definisi hutan dan lahan terdegradasi yang ambigu dari pemerintah Indonesia dapat dimanfaatkan oleh rencana ekspansi dari sektor kelapa sawit dan pulp and paper, untuk membajak dana perlindungan hutan ini dan malah digunakan untuk mensubsidi konversi hutan alam yang terjadi saat ini. 
Hanya beberapa hari sebelum negosiasi iklim internasional di Meksiko dimulai, Greenpeace hari ini meluncurkan laporan berjudul “PROTECTION MONEY” yang mengungkap betapa perjanjian yang seharusnya bisa menjadi contoh itu bisa saja digagalkan. Demikian dalam keterangan pers yang dikirim kepada okezone di Jakarta, Selasa (23/11/2010).

Rencana ekspansi saat ini, yang didesakkan oleh industri dan didukung oleh segelintir orang pemerintahan, berambisi untuk meningkatkan produksi pulp & paper hingga tiga kali lipat pada 2025 dan menggandakan produksi minyak kelapa sawit pada 2020, dengan target tambahan untuk pertanian dan produksi biofuel. 

Ekspansi ini, jika digabungkan dengan definisi lemah tentang lahan terdegradasi di Indonesia bisa menyebabkan dana REDD, yang didesain untuk mendukung perlindungan hutan dan lahan gambut di Indonesia, malah bisa digunakan untuk mendukung perusakan ini. 
Kawasan yang diincar oleh ekspansi ini termasuk 40 persen dari hutan alam Indonesia yang masih tersisa –kawasan setara dengan besar Norwegia dan Denmark digabung sekaligus. Hingga 80 persen lahan gambut Indonesia juga dalam bahaya, serta hampir 50 persen habitat orangutan di Kalimantan. 
Angka dari pemerintah menunjukkan bahwa hutan dan lahan gambut yang terancam itu menyimpan karbon hingga 38 gigaton – setara dari total emisi gas rumah kaca dunia selama empat tahun. 
“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai visi progresif untuk pembangunan rendah karbon, dan perjanjian Indonesia-Norwegia bisa menjadi contoh fantastis bagi dunia bagaimana negara maju dan negara berkembang bisa bekerja bersama-sama dalam melindungi hutan alam dan mengatasi perubahan iklim,” ujar Bustar Maitar, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara. 
“Hanya saja rencana ini secara sistematis terancam tidak efektif oleh pengaruh industri minyak kelapa sawit dan pulp and paper, yang berniat untuk melakukan model ekspansi seperti biasa yang akan menghancurkan banyak hutan hujan dan lahan gambut Indonesia yang masih tersisa.” 
Membandingkan data Indonesia dengan negara-negara lain penghasil emisi terbanyak, memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke tiga di dunia, mayoritas disebabkan oleh perusakan hutan dan lahan gambut.
Tetapi, dalam laporan ini Greenpeace menggaris bawahi bahwa target peningkatan produksi dari industri ini, sebenarnya bisa dicapai tanpa harus melakukan perusakan hutan.
“Dalam laporan ini jelas bahwa sektor minyak sawit dan kertas sebenarnya bisa mencapai target ekspansi mereka tanpa harus menghancurkan lagi hutan alam. Jika ini bisa dilakukan, ini akan menjadi kemenangan bagi industri dan perekonomian Indonesia, sekaligus kemenangan bagi masyarakat sekitar hutan dan spesies terancam, serta contoh bagus bagi dunia mengenai solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim,” lanjut Bustar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar